Ini adalah kisah yang mungkin
dialami oleh guru atau pengajar saat ini. Saya mohon maaf apabila ada yang tidak setuju dengan pendapat
ini.
Kalau jaman dulu:
1.
Kita menghafal buku.
2.
Guru menerangkan murid mendengarkan
(90% one way e.g. murid menerima, guru memberi).
3.
Karena pada nomer 2 maka murid tidak
bisa lebih tahu dari guru. Guru selalu lebih tahu dari murid.
4.
Ada role/peran yg namanya Guru, dan
ada role yangg namanya murid.
5.
Murid tidak boleh membantah guru.
Tidak setuju itu pamali. Contoh: planet ke 9 adalah Pluto.
6.
Khazanah pengetahuan terbatas pada
perpustakaan sekolah dan buku diktat.
7.
Ada proses diskusi antara murid.
Kerja sama/kerja kelompok.
8.
Banyak ”drill” (latihan berulang2
mengenai hal yang sama), khususnya matematika dan fisika.
9.
Sekolah membekali murid dengan
sebanyak mungkin pengetahuan, karena pengetahuan ini susah diakses.
Kalau jaman sekarang:
1.
Kita belajar caranya mencari
informasi.
2.
Kita bisa mencari informasi di
seluruh dunia melalui internet. Hampir semua informasi, mulai geografi sampai
rocket science ada di internet.
3.
Kita sadar bahwa jumlah informasi
itu milyaran kali lebih banyak dari pada kapasitas otak kita untuk menyimpan.
Maka kita tidak mengingat ingat semua informasi, tetapi belajar bagaimana
caranya mendapatkan informasi itu waktu kita membutuhkannya.
4.
Tidak ada role “guru” (pengajar).
Fungsi guru berubah menjadi fasilitator: tugasnya bukan mentransfer ilmu,
tetapi memotivasi kita supaya mencari ilmu.
5.
Kita mendapat ilmu/informasi dari
membaca sendiri, bukan dari mendengarkan guru.
6.
Kita selalu menchallenge apa yang
kita baca. Tidak langsung percaya. Misalnya: Apakah Pluto itu planet?
7.
Banyak “murid” yang tahu lebih
banyak dari gurunya.
8.
Pengetahuan mudah diakses kapan
saja, jadi kita tidak perlu mengingat ingat banyak hal. Prinsipnya “kita tidak
tahu”, tapi dalam sekejab kita bisa tahu.
~Sungguh berbeda sekali~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar